Article Detail
Alumni SMA Tarakanita 1 Menjadi Doktor Astrofisika Wanita Pertama di Indonesia
Di lingkungan ilmuwan astronomi tanah air dan dunia, nama Premana Wardayanti Premadi (53) yang merupakan alumni SMA Tarakanita 1 angkatan 1983 sudah tidak asing lagi. Ia adalah wanita Indonesia pertama peraih gelar doktoral di bidang astrofisika. Kesetiaannya menekuni jalur sains yang sepi dari publikasi ini tidak mengurangi semangatnya untuk memahami kedahsyatan dan keindahan alam semesta dengan segala detailnya.
Menggugah Kesadaran
Seberapa penasaran kita mencari tahu mengapa matahari tidak pernah terlambat terbit dan bersinar? Atau jangan-jangan, kita hanya memahaminya sebagai peristiwa alam yang sudah seharusnya seperti itu. Bahwa sains hanya eksis di buku-buku pelajaran sebagai teori hafalan demi mendapatkan nilai, dan bukan sebagai landasan pemahaman berkehidupan.
“Seberapa ingin tahunya masyarakat terhadap sains dan teknologi yang menopang hidup kita? Seberapa tekunnya kita dalam mencari tahu? Seberapa kuatnya dorongan untuk menemukan solusi untuk pertanyaan dan masalah. Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu yang membedakan antara masyarakat maju dan tertinggal,” gugat Premana, dalam orasi budaya di Dewan Kesenian Jakarta, November 2016.
Kenyataan ini membangkitkan kegelisahan di hati wanita yang akrab disapa Nana itu. Kebiasaan take it for granted yang menganggap segala sesuatu sebagai bagian dari kewajaran yang hanya butuh diterima, dan tak perlu dipertanyakan ini membuat orang menjadi apatis, tapi juga hilang kesadaran.
Maka, jangan heran jika tanpa pikir panjang, orang terlibat dalam perang opini yang kerap kali dibuat tanpa bukti yang teruji. Atau buru-buru membagikan berbagai kabar bohong atau hoax. Seperti yang saat ini menggejala di tengah komunitas masyarakat yang saling terhubung oleh jejaring teknologi.
“Agenda gelap yang mendorong penyebaran informasi yang tidak benar, bisa jadi tidak berpihak pada agama atau etnis manapun. Mereka punya kepentingan sendiri, dan menjadikan umat beragama di Indonesia saling berperang menghancurkan diri sendiri,” sesal Nana.
Ukuran kebenaran tidak dilandasi oleh fakta teruji, tapi atas dorongan emosi yang tidak rasional. Orang tidak peduli lagi jika tindakan ini bisa menebar virus kebencian tak berdasar.
“Kita perlu membedakan pengetahuan dari sekadar opini,” tegas Nana. Pengetahuan harus didukung oleh bukti, pengetahuan harus terperiksakan dan teruji, dan tak boleh dimuati oleh bias. “Dengan sifat inilah manusia jadi memiliki modal bersama, yang netral, untuk mengembangkan peradaban,” jelas wanita yang
pernah sembilan tahun mengepalai organisasi Himpunan Astronomi Indonesia ini.
Sebagai seorang ilmuwan, ia belajar cara berpikir ilmiah, memperkuat kemampuan dan kebiasaan rasional atau bernalar, sekaligus melengkapinya dengan pagar-pagar etika. “Dari sisi praktis, pengetahuan sains akan memberdayakan masyarakat dalam menalar dan menyaring informasi,” tegas Nana, yang aktif sebagai anggota American Physical Society (APS).
Bagaimanapun, nalar saja tidak cukup. Ia merasa perlu juga belajar untuk bersabar, agar tidak terjebak dalam tindakan yang berakibat fatal. “Bersabar dengan nalar memberi waktu untuk mengatur strategi dan mengembalikan logika pada tatanan yang benar,” ungkapnya.
Menggugah Kesadaran
Seberapa penasaran kita mencari tahu mengapa matahari tidak pernah terlambat terbit dan bersinar? Atau jangan-jangan, kita hanya memahaminya sebagai peristiwa alam yang sudah seharusnya seperti itu. Bahwa sains hanya eksis di buku-buku pelajaran sebagai teori hafalan demi mendapatkan nilai, dan bukan sebagai landasan pemahaman berkehidupan.
“Seberapa ingin tahunya masyarakat terhadap sains dan teknologi yang menopang hidup kita? Seberapa tekunnya kita dalam mencari tahu? Seberapa kuatnya dorongan untuk menemukan solusi untuk pertanyaan dan masalah. Jawaban pertanyaan-pertanyaan itu yang membedakan antara masyarakat maju dan tertinggal,” gugat Premana, dalam orasi budaya di Dewan Kesenian Jakarta, November 2016.
Kenyataan ini membangkitkan kegelisahan di hati wanita yang akrab disapa Nana itu. Kebiasaan take it for granted yang menganggap segala sesuatu sebagai bagian dari kewajaran yang hanya butuh diterima, dan tak perlu dipertanyakan ini membuat orang menjadi apatis, tapi juga hilang kesadaran.
Maka, jangan heran jika tanpa pikir panjang, orang terlibat dalam perang opini yang kerap kali dibuat tanpa bukti yang teruji. Atau buru-buru membagikan berbagai kabar bohong atau hoax. Seperti yang saat ini menggejala di tengah komunitas masyarakat yang saling terhubung oleh jejaring teknologi.
“Agenda gelap yang mendorong penyebaran informasi yang tidak benar, bisa jadi tidak berpihak pada agama atau etnis manapun. Mereka punya kepentingan sendiri, dan menjadikan umat beragama di Indonesia saling berperang menghancurkan diri sendiri,” sesal Nana.
Ukuran kebenaran tidak dilandasi oleh fakta teruji, tapi atas dorongan emosi yang tidak rasional. Orang tidak peduli lagi jika tindakan ini bisa menebar virus kebencian tak berdasar.
“Kita perlu membedakan pengetahuan dari sekadar opini,” tegas Nana. Pengetahuan harus didukung oleh bukti, pengetahuan harus terperiksakan dan teruji, dan tak boleh dimuati oleh bias. “Dengan sifat inilah manusia jadi memiliki modal bersama, yang netral, untuk mengembangkan peradaban,” jelas wanita yang
pernah sembilan tahun mengepalai organisasi Himpunan Astronomi Indonesia ini.
Sebagai seorang ilmuwan, ia belajar cara berpikir ilmiah, memperkuat kemampuan dan kebiasaan rasional atau bernalar, sekaligus melengkapinya dengan pagar-pagar etika. “Dari sisi praktis, pengetahuan sains akan memberdayakan masyarakat dalam menalar dan menyaring informasi,” tegas Nana, yang aktif sebagai anggota American Physical Society (APS).
Bagaimanapun, nalar saja tidak cukup. Ia merasa perlu juga belajar untuk bersabar, agar tidak terjebak dalam tindakan yang berakibat fatal. “Bersabar dengan nalar memberi waktu untuk mengatur strategi dan mengembalikan logika pada tatanan yang benar,” ungkapnya.
Comments
-
there are no comments yet
Leave a comment